Hasil dari pajak yang dipungut dari rakyat ternyata hanya untuk membayar gaji pegawai negeri (PNS)
termasuk di Kalbar. Akibatnya, beban APBN dan APBD terlalu berat.
Bahkan anggaran untuk belanja pegawai jauh di atas anggaran belanja
modal, termasuk untuk biaya membangun infrastruktur. “Kalau kita lihat
APBN tahun 2013 yang sudah disahkan oleh pemerintah dan DPR, sebanyak Rp
241 triliun untuk belanja pegawai. Ini sudah terlalu besar,
dibandingkan pembangunan infrastruktur hanya Rp 216 triliun yang
notabene untuk rakyat,” ungkap DR Eddy Suratman.
Pengamat ekonomi Kalbar dari Untan ini menilai terjadi ketidakadilan
pada APBN hingga APBD lantaran strukturnya tidak ideal. Satu sisi
anggaran untuk pegawai juga diperlukan dan tidak bisa ditunda-tunda.
Sementara anggaran untuk belanja modal dan infrastruktur yang
bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat, terganjal.
“Dari Rp 241 triliun yang diperuntukkan belanja pegawai, ada Rp 212
triliun untuk gaji dan tunjangan pegawai yang bekerja. Kemudian untuk
honorer sebesar Rp 51 triliun,” jelas Eddy Suratman.
Nah, dalam perjalanan ditetapkannya aturan sejak 1963, biaya untuk membayar pensiunan PNS
terus membengkak dan kini sudah mencapai Rp 74 triliun. Tahun lalu
masih Rp 66,5 triliun dan setiap tahun beban APBN untuk membayar
pensiunan bertambah Rp 7,5 triliun.
“Jadi kalau diproyeksikan tahun 2025 setiap tahunnya mengalami
kenaikan Rp 7,5 triliun, jangan heran APBN akan menanggung biaya
pensiunan saja hingga Rp 175 triliun,” katanya.
Eddy Suratman mengungkapkan, orang berlomba-lomba dengan cara apa pun
menjadi PNS karena yang diharapkan adalah pensiunnya. Nilainya dianggap
besar kalau sudah pensiun.
“Karena itu, dalam hal ini pemerintah harus punya solusi supaya beban
negara ini tidak terlalu terkejut. Pemerintah harus mendesain untuk
mengantisipasi ledakan ini. Biaya pensiun tidak mesti dibayar setiap
bulan seperti gaji. Bisa saja bentuknya seperti pesangon yang habis satu
kali bayar. Tentunya dihitung kelipatan dari 30 atau 50 kali gaji,”
sarannya.
Cara ini banyak untungnya, selain tidak menjadi beban berkepanjangan
setiap bulan setiap tahun. Calon pensiunan diberikan pilihan, yang bisa
jadi dibayar seperti pesangon sekali terima Rp 1 miliar.
“Hanya saja, PNS yang pensiun ini harus diberikan pemahaman atau
pelatihan. Supaya setelah pensiun dana pesangon yang diberikan dijadikan
modal usaha. Tidak habis begitu saja,” tandasnya.
Menurut Eddy Suratman, kalau tunjangan pensiun dibayar setiap bulan,
beban APBN akan lama dan kian berat setiap tahun. Tetapi kalau dibayar
berbentuk pesangon beban negara dalam jumlah besar hanya satu kali.
“Bisa saja opsi lain yang diambil oleh pemerintah. Misalnya mengatur
pensiunan jangan sampai serentak. Bisa saja usia pensiun PNS
diperpanjang. Saya melihat dalam RUU ASN, usia pensiun PNS diperpanjang dari 56 menjadi 58,” katanya.
Ia menilai, penambahan itu terlalu singkat dan tanggung. Alangkah
baiknya digenapkan menjadi 60 tahun PNS baru pensiun. Bisa juga
selektif, PNS yang produktif bisa diperpanjang.
“Hal itu juga ada kelemahannya. Kita tidak bisa mengukur seorang PNS
produktif atau tidak. Harus diakui banyak PNS kita sekarang yang jadi
beban karena tidak serius lantas mengharapkan pensiun. Mungkin saat
perekrutannya masih tidak fair,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Protokol BKN Aris Windiyanto
mengatakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) akhir-akhir ini menerima
banyak pertanyaan tentang kabar mengenai perubahan batas usia pensiun
alias BUP dan dana uang pensiun bagi PNS.
Padahal, sebelum ada aturan baru, ketentuan BUP PNS masih
mengikuti ketentuan lama yaitu jabatan eselon I dan II adalah 56 tahun
dan dapat diperpanjang lagi hingga 58-60 tahun.
Dalam draf terbaru RUU ASN dari DPR disebutkan, jabatan ASN (PNS) nantinya terdiri dari jabatan administrasi, fungsional, dan eksekutif senior.
Nantinya BUP untuk ASN di posisi jabatan administrasi adalah 58
tahun. Untuk BUP ASN di jabatan fungsional, akan diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sementara BUP ASN di jabatan eksekutif
senior adalah 60 tahun.
Jabatan administrasi terdiri dari pelaksana, pengawas, dan
administrator. Sementara jabatan fungsional keahlian terdiri dari ahli
pertama, ahli muda, ahli madya, dan ahli utama. “Untuk jabatan
fungsional keterampilan terdiri dari pemula, terampil, dan mahir.”
Khusus untuk jabatan eksekutif senior adalah jabatan struktural
tertinggi, staf ahli, analisis kebijakan, dan pejabat lainnya yang
ditetapkan peraturan pemerintah. “Tapi itu semua belum diputuskan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar